BERITA KASTRAT: RKUHP

KUHP atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini sedang berjalan dan sedang dalam proses oleh para dewan berasal dari i Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie dan ini berasal dari pemerintahan kolonial Belanda. KUHP merupakan kitab atau aturan hukum tertulis yang sedang berjalan sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan aspek hukum politik yang berjalan di Indonesia, dan terbagi menjadi 2 bagian yakni hukum materiil dan hukum pidana formil. Dari perbedaan kedua jenis hukum tersebut yakni semua hal yang berkaitan dengan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi) merupakan hukum pidana materiil sedangkan hukum pidana formil yakni hukum yang mengatur tentang pelaksanaan pidana materiil. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mungkin satu-satunya Undang-Undang yang memiliki perdebatan panjang dalam proses pembentukannya. Jika dilihat dari awal,maka ide gagasan usaha pembaruan hukum nasional telah digaungkan pada Seminar Hukum Hasional padatahun 1963. Salah satu isu penting dalam pembaruan KUHP nasional adalah mengenai kodifikasi. Semangat rekodifikasi ini setidaknya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: dekolonisasi, harmonisasi, dan demokratisasi hukum pidana. Dengan berlandaskan pada ketiga prinsip tersebut, maka segala bentuk aturan pidana akan disatukan dalam satu buku khusus hukum pidana, yaitu KUHP. Menggunakan model kodifikasi dalam RKUHP tentu akan memberikan pengaruh bagi: (i) Undang-Undang sektoral yang memuat ketentuan pidana yang bersifat umum (generic crime) di luar KUHP; (ii) pemetaan ulang tindak pidana administratif (administrative crime); (iii) aturan tindak pidana dalam Peraturan Daerah (Perda); (iv) hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat); dan (v) sejumlah instrumen hukum internasional yang [mungkin] berlaku bagi Indonesia pasca terbentuknya KUHP baru.

Namun KUHP kali ini memasuki babak baru, dimana terdapat polemik besar yang saat ini sedang timbul. Rencana pemerintah dan DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tertunda sejak 2019 kembali dipersoalkan. Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI Melki Sedek Huang yang mengungkapkan draf terakhir KUHP yang bisa diakses publik masih bermasalah. Rancangan KUHP (RKUHP) menjadi polemik karena pemerintah dinilai tidak transparan dalam penyusunan draf. Di sisi lain, aktivis HAM Asfinawati meminta DPR agar tidak pasif dalam merumuskan RKUHP ini dan sejumlah pihak juga sama seperti YLBHI menolak disahkannya RKUHP yang saat ini disusun oleh para anggota dewan yang rencananya akan disahkan pada akhir juni ini. Pemerintah dan DPR RI justru menyepakati untuk langsung membawa RKUHP ke dalam rapat paripurna karena pembahasan tingkat pertama telah dilakukan pada periode sebelumnya. Ketidakjelasan terkait status draf terbaru RKUHP yang sedang dibahas pun menjadi permasalahan tersendiri, di mana hal ini mengakibatkan publik tidak dapat mengawal dan memantau permasalahan yang terkandung dalam draf terbaru RKUHP dan masyarakat sama sekali belum mendapatkan akses terhadap draf terbaru RKUHP. Padahal, terdapat banyak poin permasalahan dari draf RKUHP dari versi terakhir bulan September 2019 yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial.

 

Berikut pasal-pasal krusial dan dinilai masih terdapat kekurangan pada Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana :

1. Penghinaan presiden

Menghina presiden dan wakilnya dapat dipenjara paling lama tiga tahun enam bulan. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 218 RKUHP. pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan Nomor 013-022/puu-iv/2006 dengan alasan warisan kolonial.

2. Hukuman mati

Kemenkumham menyebut pidana mati tetap dipertahankan pada pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102. Pasal ini bukan pidana pokok, melainkan bersifat khusus. Selain itu, pidana ini dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan.

3. Penodaan agama

Orang yang dianggap melakukan penodaan agama dapat dipenjara paling lama lima tahun. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 304. Pada pasal ini pemerintah melakukan penyelarasan karena dalam penjelasan masih menggunakan kata ‘penghinaan’.

4. Gelandangan

Kemenkumham menyebut pidana ini tetap ada dan tertuang dalam pasal 431 dan tidak ada perubahan. Penggelandang dianggap mengganggu ketertiban umum dan dapat dijatuhi pidana denda. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal itu negara justru seharusnya memelihara fakir miskin dan anak terlantar

5. Perzinaan

Orang yang dianggap berzina dapat dipidana penjara sampai 1 tahun. Ketentuannya ada dalam pasal 417. Pasal ini memicu tingginya perkawinan anak. Sebab, pasal ini cenderung akan mendorong orang tua menikahkan anak secepatnya untuk menghindari zina.

Kajian dan Aksi Strategis
IMMt FT UI 2022
#AkselerasiBersinergi
HARMONIS | AKSELERATIF | BERDAMPAK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *